Tuesday, January 22, 2013

11 Pasal Kode Etik Dewan Pers

11 Kode Etik Dewan Pers



PERATURAN DEWAN PERS
Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008
Tentang
PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS
NOMOR 03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan
Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk
menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
PROFESI WARTAWAN
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum
mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain
yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
(sumber : dewan pers.org)
 

Bahan UAS Pertekkom



Menyambut Era Kemunculan Solo Jurnalis Indonesia

Dari metamorfosis Citizen Jurnalis pelan-pelan namun pasti akan menjadi bibit-bibit Solo Jurnalis Indonesia. Solo Jurnalis (SoJo) Indonesia harus memenuhi pengetahuan yang lebih dalam tentang kode etik jurnalisme, terutama yang telah dikeluarkan oleh  Dewan Pers, yakni :



Isi :



PERATURAN DEWAN PERS

Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008

Tentang

PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS

NOMOR 03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS



Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk

menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain

yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

(sumber : dewan pers.org)


Kemudian selain 11 Kode Etik Dewan Pers, Jurnalis juga harap dibekali dengan pengetahuan tentang UU Pers no 40 tahun 1999 yang kemungkinan akan segera direvisi dan diamandemen ulang, karena alasan yang pertama sekarang sudah era tahun 2000-an yang kental diwarnai dengan media sosial dan gadget-gadet yang mendukung. Selanjutnya agar selamat, Solo Jurnalis juga harus mengetahui  UU ITE.  UU ITE yang telah menjerumuskan Prita Mulyasari ini bisa dibaca sendiri di berbagai sumber.

Para Solo Jurnalis Indonesia nantinya adalah mereka yang tadinya menyuarakan beritanya kepada situs-situs berita yang bernama besar yang mewadahi aktivitas citzen jurnalis yang tanpa ada imbalan bagi para CJ. Tadinya, motivasi utama para CJ yang mengirimkan beritanya ke situs-situs bernama besar adalah dengan harapan awal : nama CJ ybs (yang bersangkutan) juga ikut besar dan terkenal. Minimal ingin terkenal lewat media terkenal (katut terkenal gitu), namun lambat laun setelah memposting ratusan artikel dan foto karya sang CJ, kok ya tetap saja yang besar adalah nama media yang telah besar itu.

Jadi jika para CJ bisa punya media sendiri meskipun itu blog atau pun dotcom independen, maka siapa yang bisa memberangusnya ? Apakah bikin media online di Indonesia harus punya SIUPP dulu kayak bikinan Orde Baru, kalau pun ditetapkan demikian oleh desakan kapitalisme media besar, maka sama saja dengan monopoli informasi, monopoli media.

Monopoli informasi atau kartel informasi telah lama diramalkan oleh pakar media Dennis McQuail dalam banyak bukunya, bisa dibaca sendiri terutama “Mass Media Theory, (2005)”. Isinya bagus yakni pakar-pakar media setingkat Dennis McQuail telah meramalkan bahwa kelak media-media independen atau media gurem bakalan rontok karena monopoli dari kartel-kartel media besar, karena sifat kapitalis yang memang begitu (serakah sebagai sifat alami manusia dan cenderung monopoli). Namun untungnya jika media online milik individu nantinya bakalan diregulasi habis-habisan hingga tak tersisa dotcom independen yang bukan milik media mogul (kaisar media), maka untungnya masih  ada blog.

Jika blog juga nantinya rontok oleh keserakahan kartel media informasi, yang mendesakkan regulasi kepemilikan media kepada penguasa,  maka untungnya masih ada media sosial.  Intinya nantinya para solo jurnalis ibarat lapak kecil yang diharapkan masih bisa berdagang meksipun di sampingnya ada hyper market (media raksasa), supermarket (media holding milik raksasa juga) dan mini market (media lebih kecil tapi masih dalam grup raksasa juga). Karena ibarat pasar, saya pernah melihat pedagang kebetulan orang yang ulet, dia dapat berdagang buah jambu meskipun di seberang jalannya ada supermarket yang juga jual jambu.  Katanya bijak : "Lho Tuhan kan kasih rejeki sesuai kehendak-Nya".

Mungkin juga sedikit utopia bagi kalangan pesimistis yang menyangsikan dapatkah Solo Jurnalis timbul di Indonesia, karena kartel media besar di Indonesia demikian rambahannya ke semua lini kekuasaan ekonomi, sosial dan politik.

Utopia atau tidak utopia, SoJo telah berkembang di dunia negara maju yang kapitalis medianya lebih dashyat dari Indonesia.

Maka nantinya para CJ Indonesia yang telah  paham jurnalistik terutama 6M : Mencari, Memperoleh, Mengelola, Menyimpan, Menyajikan dan menyampaikan informasi yang akurat, maka akan mendorong era muncunya Solo Jurnalis Indonesia.

Solo Jurnalis akan muncul secara alamiah, sebagai konsekuensi berkembangnya kebebasan informasi. Solo Jurnalis yang muncul dalam fase pertama di Indonesia adalah para Solo Jurnalis yang mencari pemasukan dari liputan-liputan ringan namun diminati oleh pembaca seperti promo kuliner, promo wisata dan promo traveling, dengan kepastian sang SoJo nya punya hubungan baik  dengan agency-agency tempat usaha itu.

Pada fase berikutnya tidak menutup kemungkinan para Solo Jurnalis Indonesia akan menerjunkan diri mereka ke liputan-liputan yang bersifat tersendiri (special interest) yang dikuasai benar medan dan situasinya oleh para Solo Jurnalis yang kelak akan bertumbuhan setelah era pewarta warga indonesia (Citizen Jurnalis Indonesia) mencapai puncaknya.

Meskipun ada Bos Media besar yang dengan pongahnya berkata : "Mana sih ada Solo Jurnalis di Indonesia yang dapet duit, sebutkan," jawabnya : "Ada namun jika kami sebutkan maka pasti akan engkau rampas pula  'lapak'nya,".

Maka tengok saja para SoJo yang telah memiliki nama di Amerika Serikat, mereka benar-benar menguasai bidangnya, dan pemasukan materi mereka pun banyak didapat dari iklan. Karena satu hal : para pengiklan itu tahu bahwa para solo jurnalis yang telah profesional tidak akan berbuat satu hal : dusta. SoJo di Amerika terkenal karena mereka tak pernah dusta.

Kejujuran, dan liputan apa adanya tanpa ada presensi dan pretensi bias politik menjadi daya tarik liputan Solo Jurnalis di Amerika.

Karena di mana saja para pemilik media adalah: menjadi mesin politik, atau aktor politik, serta berpolitik baik politik nasional maupun klik politik internasional yang lebih panjang dan luas visi dan misnya, juga didekati kekuatan politik di negara mana saja. Pemilik media (media mogul) dan politik ibarat sisi koin mata uang yang tak bisa dipisahkan. Mungkin saja seorang pemilik media tak berpolitik secara nasional, tapi sebenarnya visinya adalah pan-internasional, dengan visi dan misi yang jauh melebihi sekadar batas negara semata. (*)

(MP)


Kriteria Pewarta Warga

Selasa, 17 Januari 2012 20:33 | Oleh : Mung Pujanarko |  |  | 
 Pewarta warga (citizen journalist) adalah orang yang beraktivitas melakukan kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism). Dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, pewarta warga tetap sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu jurnalstik, yakni : mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi berupa warta baik itu news, soft news, atau artikel (features), serta foto atau bentuk liputan audio visual (auvi).
Saudara pembaca, kini telah banyak bermunculan radio komunitas meski saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km.
Media cetak komunitas juga sempat berkembang dan kini cencederung mengempis. Jaman awal reformasi di berbagai daerah muncul media-media lokal, karena ibarat sumbat SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) telah dibuka, karena itu semua warga negara asalkan memiliki badan usaha boleh berusaha di bidang media massa (pers). Ini bagus, dan jangan sampai kita kembali pada era Harmoko lagi yang gelap dan suram bagi dunia pers karena banyak media dibredel, dan ditutup paksa orde baru.
Dalam kemunculan Citizen Jurnalisme ini, entah karena masih baru atau berkembang secara pesat, kini banyak pihak terutama yang merasa berkuasa atas peraturan kemudian mempertanyakan legitimasi citizen jurnalisme, pihak-pihak ini khawatir akan munculnya kekuatan baru (new emerging forces) berupa citizen journalism. Padahal tidak ada yang aneh tentang citizen journalism, karena sejatinya, Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah Hak Asasi Manusia paling hakiki yakni menyuarakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Di negara yang masih berkembang ini kebiasaan menulis dan menata pikiran dalam tulisan masih belum sampai pada titik yang menggembirakan. Setiap tahun hanya 7.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu menerbitkan 75.000 judul buku setiap tahun.
Jumlah orang yang suka menulis di beragam media termasuk internet di Indonesia juga diperkirakan hanya 3,4 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang diperkirakan mencapai sekitar 241 juta jiwa. Jumlah ini berdasar asumsi bahwa pertambahan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang.

Seorang penulis buku pernah berkata bahwa dia malah menduga bahwa jumlah pembaca buku aktif di Indonesia jika dihitung dari rekor penjualan buku terbanyak maka hanya didapat sekitar angka 200.000, (dua ratus ribu)  jiwa dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saja. Bandingkan dengan jumlah penjualan album musik terbanyak sekitar 400 ribu keping yang memperoleh plakat platinum, juga bandingkan dengan penjualan unit RBT (ring back tone) terjual sebanyak 6,7 juta ring back tone untuk satu judul saja, pada satu provider saja.

Inilah budaya Indonesia yang memang harus kita akui bahwa kita ini masih hidup dalam negara dunia ketiga, negara berkembang. Namun dengan adanya fenomena citizen journalism ini, pelan-pelan kita pasti menuju ke arah yang lebih baik dalam bidang tulis-menulis dan dalam bidang kebebasan informasi. Apalagi jika berbicara soal media on line, hasil riset, yang dirilis oleh oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2011 lalu sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya 2010 di angka 42 juta.
Hanya saja harus diakui bahwa berkembangnya fenomena citizen jurnalism adalah berbanding lurus dengan kemajuan pendidikan. Ini sebuah kepastian. Kegemaran siswa membaca dan menulis harus ditingkatkan meski upaya ini sulit karena mayoritas orang Indonesia dikenal kurang suka membaca apalagi menulis, lebih enak menonton.
Kemudian pelatihan menulis atau jurnalistik juga tetap harus digiatkan oleh siapa saja yang cinta dunia jurnalistik. Di sisi lain ada kecenderungan mengkhawatirkan bahwa siswa pelajar lebih suka menonton musik dan bergembaria ria hura-hura dari pada pada mempelajari sebuah ilmu ketrampilan seperti jurnalistik. Saya pernah mengadakan kursus jurnalistik untuk tingkat SMU dan mahasiswa, dan peminatnya tidak sebanyak ketika saya sebagai panitia bersama mahasiswa membuat event live music di kampus.
Untungnya media sosial bisa merupakan pintu untuk berkembangnya citizen jurnalism.
Lalu apa aja kriteria agar dapat menjadi pewarta warga ? kriterianya hanya satu, yakni : Mampu dan mau untuk melakukannya. Sayangnya masih ada orang yang mondar-mandir pakai kartu citizen journalist, tapi dia tak sanggup untuk menyusun informasi baik tulisan, audio maupun (apalagi) visual. Hanya suka mendapat predikat citizen journalist, mendapat kartu anggota yang bisa dibanggakan, tapi tak sanggup seculipun untuk melakukan kegiatan penulisan,  tak sanggup memotret, tak sanggup pula merekam video, apalagi melaporkan secara auditif. Aduh...mak, muncul keinginan agar membantu diberikannya pelatihan sederhana agar yang belum bisa, menjadi bisa melakukan ketrampilan, paling tidak kemampuan dasar menulis, untuk membuat berita sederhana/format berita pendek (spot news), memotret, merekam video dan berbicara layaknya seorang reporter radio. Karena itulah ketrampilan dasar jurnalistik bekal seorang jurnalis, dan bekal dasar seorang pewarta warga. Paling tidak pengertian skill dasarnya dapat.
Maka itu memang  saran saya PPWI nantinya harus selektif benar, pada pemberian predikat pewarta warga serta tanda identitas pewarta warga. Karena pewarta warga haruslah orang yang minimal memilki ketrampilan jurnalistik yang paling dasar seperti menulis pelaporan berita singkat/format berita pendek (spot news), sebelum bisa membuat format berita panjang seperti straight news, soft news, hard news, apalagi investigative news, kemudian berbagai jenis artikel dan feature. Yang paling simple dulu saja.
Barulah kemudian kalau mau, setidaknya mampu memotret (ketrampilan dasar fotografi, berupa pengertian aperture, shutter speed, lensa) dan membuat caption (teks foto), ini dulu yang dasar.  Sedangkan mengambil gambar melalui video dan merekam suara untuk disalurkan ke media radio adalah kemampuan yang lebih lanjut meskipun juga mendasar sifatnya. Pelan-pelanlah.
Tentu kita  malu sendiri bila kita yang pemegang tanda identitas pewarta warga, tapi menulis tak mampu, memotret peristiwa tak mampu, berbicara di saluran radio baik radio komunitas, radio amatir, dan segala macam saluran audio termasuk radio streaming internet, juga tak mampu pula... aduh, kalau begini logikanya adakah kita layak  mengaku sebagai pewarta warga ?
Untuk me-mitigasi kekurangan ini ada baiknya pengurus PPWI berinisiatif memberikan pelatihan singkat, dan jika  calon pewarta warga tadi sudah lulus ketrampilan dasar (basic journalistic) maka PPWI berhak memberikan semacam sertifikat tanda ketrampilan dasar jurnalistik, seperti halnya  jika seorang telah lulus satu level kursus Bahasa Inggris, juga berhak memperoleh sertifikat tanda ketrampilan.
Jadi fungsi sertifikat adalah merupakan tanda bukti yang sah bahwa yang bersangkutan telah lulus pelatihan jurnalistik dasar (basis jurnalistik), dan berhak untuk mendapatkan identitas sebagai pewarta warga agar sedikitnya memiliki pemahaman tentang ilmu jurnalistik yang benar. Karena ilmu jurnalistik ini adalah bukan ilmu sembarangan yang bisa dipraktekan orang secara sembarangan tanpa memperoleh pelatihan. Logikanya, semua profesi apa saja, termasuk supir juga memperoleh pelatihan, belajar, dan ada kursus mengemudinya segala. Ini sebuah hal yang wajar, bahwa jika ingin bisa maka berlatih, jika tidak dapat berlatih sendiri maka minta diajari oleh orang lain, bila ingin diajari oleh lembaga dan memperoleh sertifikat tanda lulus belajar maka ikuti programnya. Hidup selalu penuh pilihan.
Dan pelatihan serta sertifikat ini pun tidak ada paksaan, karena sifatnya hanya membantu bagi calon pewarta yang memang benar buta ilmu jurnalistik.
Lain halnya jika ada pewarta warga yang sudah memiliki ketrampilan skill jurnalistik dasar, apalagi mahir, maka tinggal menunjukkan karya apa saja yang pernah dibuatnya, di media sosial-kah, foto di media online-kah, suka menulis di blog -kah, atau apa saja berupa karya warta yang pernah dibuatnya, maka sudah bisa mengaku dan diakui oleh PPWI sebagai pewarta  warga. Atau kalau sudah bisa menulis, tapi belum pernah berkarya, juga tak masalah, tidak ribet, dipersilahkan menulis di media situs PPWI, inipun kapan saja boleh. Itu saja, tidak ada yang repot dan merepotkan. Juga ini bukan guyonan atau bercandaan sifatnya, karena ketrampilan jurnalistik dasar adalah sesuatu yang serius, sama seriusnya dengan belajar ketrampilan menembak bagi seorang tentara.
Saya ingat ketika baru pertama kali menjadi wartawan, kami calon wartawan pada tahun 1990-an saat itu, mendapat pelatihan  jurnalistik dari perusaahaan pers tempat kami bekerja, pelatihan dasar berlangsung selama 6 bulan. Pelatihan dasar ini berlaku bagi semua calon wartawan yang berlatar belakang pendidikan apa saja, yang berlatar belakang pendidikan jurnalistik pun kembali memperoleh pendadaran jurnalistik yang diberikan secara disiplin ilmu jurnalstik.  Barulah kemudian yang telah  lulus dan mengerti dengan baik semua kaidah dan etika serta tata cara jurnalistik sebagai disiplin ilmu dasar, diterjunkan ke lapangan guna meliput berita. (*)
(MP)

UAS Pertekkom

1.    Sebutkan apa yang dimaksud dengan 6 M dalam ilmu Jurnalistik.

2.    Beroperasi di kanal berapa saja Rakom (Radio Komunitas) di Indonesia, dan menurut ketentuan Kemenhub nomer berapa ?

3.    Berapakah kira-kira jumlah penulis media online aktif di Indonesia ? dari berapa jumlah penduduk di Indonesia. Dan jelaskan mengapa perbandingan tersebut sangat jauh bedanya.

4.    Menurut survey MarkPlus Insight, berapa jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2011, jelaskan menurut pendapat anda mengapa Indonesia masih terbilang rendah jumlah pengguna internetnya.

5.    Apa yang dimaksud dengan off the record ?

6.    Bagaimana pendapat anda tentang monopoli media ? Jelaskan pandangan dan sikap anda !

Selamat mengerjakan !


Selamat mengerjakan !

UAS Hukum dan Etika Pers


UAS Hukum dan  Etika Pers


1.   Ada berapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik sesuai dengan Peratuan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 ?

2.   Sebutkan isi pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)  No 11 tahun 2008.

3.   Ada di pasal berapa dalam Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers  yang berisi “  Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul ?” kemudian jelaskan pula penafsiran dari pasal tersebut !

4.   a. Apa yang dimaksud dengan “off the record” jelaskan !

b. Kemudian jelaskan pula  bagaimana secara etika bilamana seorang nara sumber mengatakan sebuah keterangan namun dia mengatakan “ ini off the record” mengenai sebuah  rahasia tentang kasus korupsi yang melibatkan nara sumber itu ? Jelaskan sikap anda selaku jurnalis.

Selamat Mengerjakan !

Friday, January 11, 2013

Manajemen Event By STIKOM IMA

Mengelola suatu kegiatan (event) merupakan bagian penting bagi sebuah perusahaan, sehingga dituntut terlaksana secara sempurna.
    Tidak jarang kegagalan dalam penyelenggaraan kegiatan berdampak pada kepercayaan atau reputasi perusahaan di mata stakeholders, karena pada saat tersebut profesionalisme langsung dilihat oleh stakeholders dan masyarakat luas.
Event Organizer (EO) merupakan salah satu bisnis yang cukup menguntungkan. Dewasa ini,setiap kegiatan yang sifatnya menghibur masyarakat umum selalu menggunakan jasa event organizer sebagai salah satu penyukses kegiatan. Secara kasat mata kegiatan akan terlaksana dengan sukses dan berjalan lancar dan si empunya kegiatan juga tidak terlalu pusing memikirkan semua kegiatan karena telah diatur sepenuhnya oleh penyelenggara kegiatan ini.

Untuk memulai sebuah bisnis ini, seorang calon event organizer haruslah mempunyai daya kreatifitas dan inovasi yang tinggi serta jeli melihat keadaan di lingkungan pasar mereka. Hal tersebut disebabkan Event Organizer sebagai penyelenggara perhelatan apapun bentuknya memerlukan kemampuan managemen penyelenggaraan event yang profesional. Proses perencanaan, pengorganisasian sampai pada tahapan mengevaluasi untuk menjaga sustainability dari proses operasi EO perlu dimiliki oleh mereka yang akan terjun di bisnis ini.

Untuk memulai sebuah bisnis ini, seorang calon event organizer haruslah mempunyai daya kreatifitas dan inovasi yang tinggi serta jeli melihat keadaan di lingkungan pasar mereka. Hal tersebut disebabkan Event Organizer sebagai penyelenggara perhelatan apapun bentuknya memerlukan kemampuan managemen penyelenggaraan event yang profesional. Proses perencanaan, pengorganisasian sampai pada tahapan mengevaluasi untuk menjaga sustainability dari proses operasi EO perlu dimiliki oleh mereka yang akan terjun di bisnis ini.

Kesuksesan dalam menyelenggarakan sebuah event, sangat sulit untuk didapat tanpa adanya konsep dan perencanaan secara matang. Event-event seperti :
 launching product,
company gathering,
anniversary,
exhibitions,
seminar,
promosi, talkshow dan sebagainya, banyak dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan sebagai ajang untuk mempromosikan produk-produk baru. Baik dari perusahaan secara mandiri maupun melalui asosiasi perusahaan dan bidang produksi yang sama.
Dibalik dari kesuksesan sebuah event tersebut tidak terlepas dari adanya peran dari Event Organizer, mulai dari konsep acara, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kegiatan. Segment dari EO tidak hanya melulu dari perusahaan atau musik, tetapi kini mulai merambah event seperti pernikahan, ulang tahun, hingga syukuran.

Dibalik dari kesuksesan sebuah event tersebut tidak terlepas dari adanya peran dari Event Organizer, mulai dari konsep acara, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi kegiatan. Segment dari EO tidak hanya melulu dari perusahaan atau musik, tetapi kini mulai merambah event seperti pernikahan, ulang tahun, hingga syukuran.

Event Organizer harus mampu membantu kliennya (client) untuk menyelenggarakan kegiatan yang diinginkan, seperti dari tahap persiapan sampai dengan event harus berjalan lancar dengan baik. Dalam menjalankan peran pada sebuah event acara, sebuah EO bertugas untuk mengkoordinasi, melayani, mensupport kepentingan yang bersangkutan, misalnya venue, peserta, akomodasi, transportasi, media massa, dan pihak-pihak terkait lainnya.
Bisnis EO dapat dikatakan merupakan bisnis yang mempunyai prospek bagus, konsumen tidak hanya berasal dari instansi pemerintah atau non pemerintah, tetapi masyarakat kelas menengah ke atas di perkotaan menjadi juga target konsumen pemakai jasa EO, biasanya mereka yang menginginkan kegiatan sempurna, tetapi tidak memiliki banyak waktu sehingga membutuhkan kepraktisan dalam mengorganisasikan kegiatan tersebut melalui jasa EO.
Untuk dapat menjalani EO tidak semudah seperti yang dibayangkan, beberapa bekal harus dimiliki pelaku bisnis dibidang ini, seperti pengalaman menjadi kepanitiaan dalam suatu kegiatan dapat menjadi bekal memulai bisnis EO, pemikiran tetnang ide-ide kreatif dan inovatif cukup menunjang, karena kepuasan dari pemilik acara menjadi tanggungan EO. Jejaring atau relasi bisnis yang luas akan sangat membantu bisnis EO, kepercayaan dari relasi bisnis sangat berguna untuk kelancaran sebuah event seperti sponsor, logistic event, venue dan pihak yang terkait dengan EO.
Selain itu kemampuan untuk mengelola atau mengorganisir juga sangat penting, karena akan mempengaruhi perjalanan bisnis EO sendiri seperti kemampuan mengelola keuangan, SDM dan kemampuan mengelola kelanjutan bisnis yang digeluti menjadi sangat penting.
Meskipun dalam perjalanan menggeluti bisnis EO akan menemui beberapa rintangan yang akan dihadapi dan tidak ringan, tetapi sebenarnya dengan modal ketekunan dan kerja keras, semua rintangan akan menjadi mudah diatasi dan menjadi pembelajaran untuk kesuksesan dunia bisnis EO.

Jasa Event
Jasa EO merupakan jasa penyelenggaraan sebuah acara yang terdiri dari serangkaian mekanisme yang sistematis dan memerlukan ketekunan, kesungguhan serta kekompakan kerja tim dimana acara tersebut dipadati dengan : deadline, target, scheduling, pressure, dan teamwork solidarity.
Peran EO sendiri selain melaksanakan penyelenggaraan sebuah acara berdasarkan pedoman kerja dan konsep acara juga harus mengelola konsep manajerial secara profesional.

Di negeri indonesia, konsep EO mulai muncul sekitar tahun 1990an dan semakin populer pada tahun 1998 pasca era krisis dimana banyak tenaga kerja yang kemudian mencari alternatif sumber penghasilan lain, salah satunya EO.Untuk mendirikan sebuah EO, beragam hal harus diperhatian mulai dari jaringan (network), permodalan dana segar yang cukup, SDM yang dinamis dan pekerja keras, semangat teamwork, kreativitas dan inisiatif yang tinggi, cermat dan peka terhadap perkembangan menjadi kunci kesuksesan EO.

Proposal yang dibuat menyangkut manajemen event yang menarik, adalah proposal manajemen event yang tidak terlalu banyak tulisan.
Namun lebih pada  menonjolkan kreatifitas, dan didukung dengan kemampuan verbal atau kemampuan dalam mengkomunikasikan konsep acara pada pihak sponsor.

Selain proposal yang menarik, kunci sukses dalam penyelenggaraan sebuah event adalah promosi. Dijelaskan Wobal bahwa promosi terkait event yang akan dilakukan, tentu saja tidak meninggalkan pembuatan banner, spanduk dan sejenisnya.
Kemudian juga EO harus pandai-pandai dalam menggandeng media partner. Bisa media cetak, elektronik sampai internet. Dimulai dengan membuat daftar media cetak yang berhubungan dengan kegiatan, misalnya acara musik maka media yang dituju adalah media yang didalamnya terkait dengan musik. Begitu juga radio maupun internet. Terlebih saat ini ada jejaring sosial seperti facebook maupun twitter yang bisa juga untuk dimanfaatkan.

Akhir-akhir ini telah suatu kecenderungan pada para pelaku pasar pariwisata untuk mengganti istilah ini menjadi " The Meetings Industry". Dunia MICE adalah dunia yang belum terjamah dengan baik di Indonesia. Padahal dunia MICE merupakan salah satu andalan pariwisata di beberapa negara maju. Dunia MICE merupakan salah satu dunia bisnis yang menjanjikan. Namun baru sedikit sekali pihak Indonesia yang mau bermain di dunia MICE. Mungkin salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan tentang MICE di Indonesia. Namun di Indonesia sudah mulai ada lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan tentang MICE. Banyak negara yang sudah menjadikan dunia MICE sebagai salah satu potensi wisatanya.
MICE, akronim bahasa Inggris dari "Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition" (Indonesia: Pertemuan, Insentif, Konvensi, dan Pameran), dalam industri pariwisata atau pameran, adalah suatu jenis kegiatan pariwisata di mana suatu kelompok besar, biasanya direncanakan dengan matang, berangkat bersama untuk suatu tujuan tertentu.


EO tidak ubahnya seperti sebuah kepanitiaan. EO juga sering diartikan sebagai jasa yang bertujuan mempermudah orang menyelenggarakan acara atau kegiatan.
Selama ini arti EO sering dikaitkan dengan pentas musik saja atau dunia entertainment. Padahal ruang lingkup EO sangatlah luas dan beragam.
Memilih SDM EO yang profesional.
Event Organizer adalah sebuah bidang pekerjaan yang membutuhkan kreativitas dan semangat kerja yang tinggi. Boleh dikatakan, orang-orang yang tertarik dengan bidang ini dipastikan memiliki tingkat kreativitas dan antusiasme di atas rata-rata.



Enam syarat EO

1. Creative : kaya ide & gagasan, memiliki naluri pemecahan masalah yang tinggi, pencipta terobosan baru, pelopor, memiliki jiwa seni dan kaya imajinasi. 2. Conceptual : mampu menuangkan ide secara sistematis dalam bahasa tulisan atau skema gagasan. 3. Communicative : mampu menyampaikan gagasan dengan teknik komunikasi yang baik. 4. Competence : dapat diandalkan karena memiliki reputasi, kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan. 5. Conection : senang bergaul, pandai memulai hubungan baru, memiliki hubungan yang luas. 6. Commitment : bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas, memiliki semangat pantang menyerah, loyal pada janji dan profesi, disiplin dan setia kawan, bertanggungjawab.

UAS Manajemen Event STIKOM Indonesia Maju



Soal UAS Manajemen Event

Dosen : Mung Pujanarko

 sifat : take home examination

1    Jelaskan apa yang dinamakan Jasa Event

2.   Jelaskan sejak kapan Event Organizer muncul di Indonesia

3.   Selain Proposal, sebutkan kunci sukses sebuah event

4.   Jelaskan 6 syarat EO (Event Oganizer)


Selamat Mengerjakan

Monday, December 31, 2012

Bahan UAS Jurnalistik Foto


Penilaian mata kuliah Jurnalistik foto adalah foto-foto yang telah dimuat di website dan  nilai UAS.
Bahan : 
Jurnalistik foto pada dasarnya adalah melihat apa yang jarang diperhatikan oleh khalayak. Khalayak kadang melihat tapi tidak menamatkan alias tidak memperhatikan sebuah obyek/ peristiwa.
Dalam era kamera digital sekarang ini, memungkinkan seseorang tidak harus belajar banyak tentang dasar-dasar fotografi. Namun karena kecanggihan kamera seseorang yang telah merasa mampu bisa langsung ke lapangan dan bisa mendapatkan foto-foto yang bagus. Karena memang semua kamera sekarang dirancang untuk memberi kemudahan terhadap pemakainya.

Masih terkait pembahasan visual foto bagi seorang pemula yang belajar foto jurnalistik, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, agar dalam proses belajar akan lebih fokus. Berikut ini, tahapan demi tahapan melalui metode foto jurnalistik diperkenalkan secara mudah pahami.
Walter Cronkite Schol of Jurnalism Telecommunication Arizona State University memperkenalkan metode untuk mendapatkan variasi angle dan pilihan dalam melakukan pengambilan sebuah gambar dalam peliputan. Seorang wartawan foto (jurnalis foto), akan dengan mudah mendapatkan foto dengan berbagai macam variasi angle, apabila telah melakukan penguasaan metode ini.
Metode ini diperkenalkan untuk mempermudah seseorang dalam melakukan tugas-tugas dalam melakukan peliputan foto. Metode yang diperkenalkan itu adalah metode EDFAT :
Metode EDFAT adalah suatu metode pemotretan untuk melatih kepekaan dalam melihat sesuatu secara detail yang runtut dan tajam. Tahapan-tahapan yang dilakukan pada setiap unsur metode itu adalah suatu proses dalam mengincar suatu bentuk visual atas peristiwa bernilai berita. Berikut ke lima tahapan dalam pemotretan:
Metode E (Entire) adalah tahapan yang dikenal juga sebagai Establised Shot, suatu keseluruhan pemotretan yang dilakukan begitu melihat suatu peristiwa atau bentuk penugasan lain, untuk mengintai bagian-bagian lain untuk dipilih sebagai objek pemotretan.

Metode D (Detail) suatu pilihan atas bagian tertentu dan keseluruhan pandangan terdahulu (entire). Dalam tahap ini dilakukan suatu pilihan pengambilan keputusan atas sesuatu yang dinilai paling tepat sebagai point of interest-nya. Pada tahap ini penglihatan dalam proses yang sedemikian cepat, diramu dengan pengetahuan jurnalistik yang memadai untuk menghasilkan imaji yang diinginkan.

Metode F (Frame) tahap dimana kita membingkai suatu detail yang telah dipilih. Fase ini mengantar seorang cakon jurnalis foto mengenal arti sebuah komposisi, pola, tekstur, dan bentuk objek pemotretan dengan akurat. Dalam pase ini rasa artistik seorang jurnalis foto semakin penting.

Penjelasan :
Metode A (Angle) tahap dimana sudut pandang menjadi dominan pada fase sebagai pilihan untuk posisi dalam pengambilan gambar. Apakah itu dengan memilih sudut pengambilan dari ketinggian, kerendahan, level mata, kidal, kanan dan cara lain dalam melihat sudut pandang. Pada fase ini bagi seorang wartawan foto menjadi penting untuk mengkonsepsikan visual apa yang diinginkan.
Metode T (Time), tahapan penentuan penyiaran dengan kombinasi yang tepat antara diafragma dan kecepatan (shutter speed) atas ke empat tingkatan metode yang telah disebutkan di atas. Pengetahuan teknis atas keinginan pembekuan gerak atau memilih ketajaman ruang adalah satu prasyarat dasar yang sangat diperlukan.

Memilih metode ini sangat praktis kiranya, dan dapat dijadikan pedomanan dan kebiasaan, manakala seorang wartawan foto pemula sedang mendalami foto jurnalistik. Paling tidak metode EDFAT ini membantu proses percepatan pengambilan keputusan terhadap suatu event atau kondisi visual bernilai berita. (*)

Bahan II

Sejarah Jurnalistik Foto
Apakah kita pernah melihat halaman koran yang tanpa foto satu pun ?  Rasanya tidak ada karena memang secara internasional bahwa foto harus ada di koran terutama di halaman pertamanya. Selain untuk eye catching perwajahan, foto adalah sebuah bentuk berita tersendiri.
Berita tulis dan berita foto punya pijakan masing-masing dan bisa saling melengkapi. Berita tulis memberikan deskripsi verbal sementara foto memberikan deskripsi visual. Sebagai gambaran, untuk menceriterakan besarnya pengangguran dalam bentuk angka-angka, jelas berita tulis lebih tepat untuk dipakai. Tetapi untuk memberitakan seperti apa indahnya sebuah tempat atau secantik apa wajah seorang bintang sinetron, jelas foto yang lebih bisa berbicara daripada tulisan.
Walau begitu, foto jurnalistik usianya jauh lebih muda daripada jurnalistik tulis. Huruf sudah dikenal manusia ribuan tahun yang lalu sementara usia fotografi sendiri belum sampai 200 tahun. Di awal abad belasan, di Inggris sudah dikenal surat kabar. Tapi fotografi baru masuk surat kabar pada akhir abad 19.
Persoalan mengapa foto jurnalistik tertinggal dari jurnalistik tulis semata karena masalah teknologi. Setelah fotografi ditemukan pada pertengahan abad ke-19, teknologi cetak belum bisa membawa foto ke Koran. Yang terjadi adalah, foto sebuah kejadian dijadikan berita dengan cara digambar ulang ke sketsa. Sketsa inilah yang lalu dibawa ke mesin cetak. Surat kabar pertama yang memuat gambar sebagai berita adalah The Daily Graphic pada 16 April 1877. Gambar berita pertama itu tentang sebuah peristiwa kebakaran.
Sejalan dengan kemajuan teknologi cetak, akhirnya foto pun bisa ditransfer ke media cetak massal. Foto pertama di surat kabar adalah foto tambang pengeboran minyak Shantytown yang muncul di surat kabar New York Daily Graphic di Amerika Serikat tanggal 4 Maret 1880. Foto itu adalah karya Henry J Newton. Demikianlah, foto jurnalistik memang masih seumur jagung dalam dunia jurnalistik secara umum. Namun perkembangannya sangatlah cepat bahkan kini kita sudah memasuki fotografi digital. Dengan fotografi digital, teori-teori fotografi lama masih banyak yang berlaku. Cara pemotretan dan teori pencahayaan tidaklah berubah. Yang berubah hanyalah prosesnya.
Kalau dulu film perlu dicuci terlebih dahulu, lalu diperlukan proses mencetak untuk mendapatkan gambarnya, kini begitu tombol rana selesai dipijit selesailah fotonya. Kini tidak diperlukan lagi jasa pos atau kurir untuk mengirimkan foto. Seorang fotojurnalis bisa mengirim fotonya lewat telepon genggam yang dibawanya ke medan perang.
Sebagai gambaran, pada Piala Dunia Sepakbola 2002 lalu, begitu sebuah gol terlihat tercipta dari siaran langsung televisi, lima menit kemudian foto gol itu dalam bentuk data digital sudah sampai di meja redaktur foto Koran-koran di seluruh dunia.
Percepatan pemakaian fotografi sebagai elemen berita dipacu besar-besaran oleh terbitnya Majalah LIFE di Amerika Serikat sekitar tahun 1930-an. Dunia foto jurnalistik bisa dikatakan berhutang besar kepada Wilson Hick yang menjadi redaktur foto pertama majalah itu selama 20 tahun lamanya. Hick adalah orang yang dianggap sebagai perintis kemajuan foto jurnalistik di dunia ini.
Wilson Hicks memang tidak pernah memotret tapi lewat ketajaman intuisinya dan kepemimpinannya lahirlah fotografer-fotografer kelas dunia seperti Elliot Ellisofon, Edward Steichen, Robert Capa dan beberapa lagi. Dari Hicks pulalah lahir dasar-dasar foto jurnalistik.
Apa itu foto jurnalistik? Wilson Hicks menjawab dengan teorinya yang terkenal: Teori Wilson Hicks = Kata dalam foto jurnalistik adalah teks (caption) yang menyertai sebuah foto. Kalau berita tulis dituntut untuk memenuhi kaidah 5W + 1 H (What Where When Who Why dan How), demikian pula foto jurnalistik. Karena tidak bisa keenam elemen itu ada dalam gambar sekaligus, teks foto diperlukan untuk melengkapinya. Seringkali, tanpa teks foto, sebuah foto jurnalistik menjadi tidak berguna sama sekali.
Sekali lagi, penggabungan dua media komunikasi visual dan verbal inilah yang disebut sebagai foto jurnalistik. Suatu ketika kita membaca sebuah surat kabar, yang pertama kita lakukan adalah melihat foto yang menarik, membaca teksnya, kemudian kembali melihat fotonya. Foto halaman pertama sebuah surat kabar adalah elemen terpenting untuk “menjual” edisi surat kabar di hari itu.

Kelebihan Foto
Hakekatnya foto punya kelebihan dibandingkan media tulis. Selain mudah diingat, foto juga punya efek lain yang timbul jika kita melihatnya. Foto bisa menimbulkan efek bayangan yang lain tergantung dari siapa, pekerjaan, pengalaman, pendidikan, pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihatnya.
Karena itulah sebuah foto yang tidak menarik bagi seseorang pembaca, mungkin justru sangat menarik bagi pembaca lain. Sebagai contoh, foto olahraga American Football yang sangat bagus mungkin sangat menarik bagi pembaca di Amerika Serikat. Tapi bagi sebagian besar orang Indonesia, foto ini dilirik pun mungkin tidak.
Selain itu, untuk membuat foto yang menarik, kita harus membuat orang merasa mendapatkan sesuatu yang baru dari foto yang dilihatnya. Foto pembukaan sebuah seminar umumnya adalah foto orang memukul gong. Maka, di Indonesia, foto orang memukul gong sama sekali sudah tidak menarik lagi sebesar apa pun seminar yang menyertainya.
Karena itu, ada sebuah pedoman penting yang harus diingat saat membuat sebuah foto jurnalistik. Pedoman itu tertuang dalam ucapan fotografer Majalah LIFE Co Rentmeester yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1970-an. Pada suatu ceramahnya, Rentmeester berkata, ”Buatlah foto yang lain daripada orang lain”.
Petunjuk Rentmeester itu sangat tepat, apalagi untuk saat ini dimana foto jurnalis di Indonesia sudah sangatlah banyak. Pemilik kamera juga sudah tidak terhitung banyaknya. Kalau kita membuat foto yang sama dengan orang lain, sama sudut pengambilannya dan sama pula jenis lensanya, maka foto kita bisa dikatakan datar dan tidak menarik.
Perlu bagi seorang foto jurnalis untuk banyak-banyak melihat karya orang lain sebagai perbandingan dalam berkarya. Melihat karya orang lain, terutama melihat karya-karya yanag menang dalam sebuah lomba foto, kadang-kadang disalahartikan sebagai cari bahan untuk meniru. Padahal tidaklah demikian.
Untuk memberikan gambaran tentang kreativitas, mungkin kita masih ingat ceritera tentang pengeliling dunia Columbus yang ditantang untuk mendirikan sebuah telur ayam di atas meja. Saat Columbus memecahkan sedikit kulit telur untuk bisa membuatnya berdiri, orang lalu berkata, “Ah, saya pun bisa.”
Padahal, sebelum Columbus memecahkan telur itu, siapa pun mungkin tidak berpikir sampai ke situ. Demikian pula dalam fotografi. Kalau kita melihat sebuah angle foto yang bagus, kita mungkin berpikir, “Apa sulitnya membuat yang begitu”. Padahal, kalau belum ada foto itu, belum tentu kita bisa membuat yang demikian.
Sementara itu, selain definisi yang diberikan Hicks di atas, dalam definisi yang lebih “membumi”, foto jurnalistik adalah foto apa pun yang pembuatan dan pemakaiannya melewati proses jurnalistik.

Peran Fotografi
Pertanyaan pembaca di atas amat menarik sebab selama ini telah terjadi banyak salah paham terhadap fungsi dan peran sebuah foto. Kalimat yang mengatakan bahwa sebuah foto senilai seribu kata itu sebenarnya cuma kiasan, namun sering disalahartikan orang karena dianggap sebagai "peribahasa" panutan. Dalam anggapan yang salah itu, sebuah foto dianggap selalu bisa menggantikan seribu kata-kata. Padahal tidak sama sekali.
Kenyataannya, foto memang mempunyai kelebihan dan keterbatasan tersendiri. Kalau berita secara umum harus mengandung 5W dan 1 H (what, who, when, where, why dan how, atau apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana), sebuah foto sulit mengandung keenam hal itu sekaligus.
Sebuah berita bisa mengandung 5W dan 1H karena ia terdiri dari banyak kalimat. Sedangkan sebuah foto sulit mencakup keenam hal itu dalam sebuah media dua dimensi yang dimilikinya. Seorang fotografer pemula, dengan dibuai "peribahasa" di atas sering memaksakan agar foto karyanya mengandung keenam hal sekaligus, sehingga justru menghasilkan karya yang "kusut".
Sebuah foto tidak selalu bisa menerangkan di mana kejadian itu terjadi, siapa yang ada di dalam foto, mengapa adegan dalam foto terjadi, bagaimana adegan dalam foto terjadi atau kapan kejadian itu terjadi, kalau tidak dilengkapi teks foto. Ini kelemahan sebuah foto.
Sebaliknya, foto mempunyai suatu dimensi yang tidak bisa dimiliki kata-kata, yaitu dimensi visual. Untuk menceriterakan wajah seorang wanita yang cantik, walau berjuta kata telah Anda gunakan, belum tentu orang lain bisa segera membayangkan seperti apa wajah wanita yang Anda ceriterakan itu. Namun dengan selembar foto, selesailah sudah penjelasan Anda. Untuk hal ini, betul bahwa sebuah foto menggantikan seribu kata.
Jadi harus dibedakan antara keunggulan sebuah foto dari sisi visual dan keterbatasan foto dari segi kemampuan naratifnya. Dalam kaitannya dengan foto di surat kabar, foto sebagai berita tidaklah bisa berdiri sendiri. Ia selalu membutuhkan keterangan, atau minimal judul foto.
Dalam konteks foto sebagai berita, yaitu di surat kabar, sebuah foto bisa menjadi elemen utama. Di sini yang terjadi adalah tanpa sebuah foto, sebuah berita menjadi tidak berarti. Contoh untuk hal ini adalah berita pencarian koruptor oleh polisi. Kalau foto sang penjahat tidak ikut dimuat, berita itu relatif tidak ada gunanya sebab kekurangan informasi visual tentang bagaimana wajah penjahat yang dicari itu.
Sebuah foto dalam media cetak juga bisa menguatkan isi sebuah berita. Misalnya berita yang dimuat adalah berita tentang kebakaran pasar yang dahsyat. Dengan menambahkan sebuah foto suasana reruntuhan pasar, pembaca bisa ikut membayangkan betapa dahsyatnya api yang berkobar. Gambaran visual memberikan dimensi tertentu pada berita yang dibuat untuk memancing emosi orang.
Sebuah foto, dengan dilengkapi keterangan atau caption, juga bisa mandiri sebagai sebuah berita. Contoh foto berita misalnya pemberitahuan bahwa sebuah foto memenangkan lomba tertentu.
Namun sering juga sebuah foto merupakan "sekadar" elemen pemanis dalam tata letak surat kabar. Bisakah Anda membayangkan halaman pertama surat kabar tanpa sebuah foto pun? Pasti membosankan sekali menatap halaman yang melulu berisi huruf. Di sini foto berfungsi sebagai elemen estetis yang kuran maupun formatnya direncanakan dengan baik.
Sebuah surat kabar boleh saja tidak memuat satu foto pun, namun pasti tidak ada penerbit yang mau berbuat demikian karena koran itu pasti tidak akan dibeli orang. Terus terang, foto sering kali merupakan elemen penarik minat orang pada halaman satu.
Seperti telah disinggung, teks dalam sebuah foto jurnalistik adalah elemen yang membuat sebuah foto lengkap. Maka, peran teks ini tidaklah main-main. Judul foto, yaitu bagian pertama dari teks yang biasanya dicetak tebal, haruslah memberikan gambaran akan isi foto. Judul hendaklah tidak mengulangi info yang telah dilihat oleh mata.
Sebagai contoh, misalnya ada foto orang sedang bersalaman. Janganlah judul foto itu “Bersalaman”. Ini nyinyir kata orang. Judul yang lebih baik mungkin adalah “Pertemuan dua tokoh”, atau “Usai peresmian pabrik”.

Esensi Fotografi
Dalam persuratkabaran, fotografi bisa dibagi dalam dua pemikiran. Pemikiran pertama adalah pemikiran yang berhubungan lay out, dan pemikiran kedua adalah pemikiran yang berhubungan dengan kerja jurnalistik itu sendiri.
Pada perwajahan, redaktur fotografi tidak bisa terlalu kaku untuk memaksakan pemuatan sebuah foto. Harus ada tawar-menawar dengan redaktur artistik untuk mendapatkan penampilan halaman terbaik, terutama untuk halaman pertama. Dengan tidak mengubah isi dan makna sebuah foto, seorang redaktur foto sebaiknya punya beberapa stok foto dan format untuk sebuah kejadian. Memang ada kalanya sang redaktur foto hanya punya satu saja foto untuk sebuah kejadian. Maka untuk keadaan seperti ini, redaktur artistik tidak bisa menawar lagi tapi harus merancang layout dengan satu foto yang ada itu.
Sebagai contoh, sebuah adegan sebaiknya memiliki format vertikal dan format horisontalnya. Stok foto wajah orang sebaiknya punya tiga arah memandang: kiri, kanan dan lurus ke depan (netral). Foto wajah yang diletakkan di kanan halaman sebaiknya menghadapi ke kiri, demikian pula sebaliknya.
Redaktur fotografi juga harus punya stok foto yang tidak basi oleh waktu. Sewaktu-waktu redaktur artistik meminta foto, redaktur fotografi harus bisa menyediakannya. Sering terjadi ada perubahan layout secara mendadak, dan sebuah foto dibutuhkan untuk membuat penampilan sebuah halaman menjadi lebih baik. Sebuah stopper atau pengisi halaman tidaklah harus berita. Bisa juga foto.
Foto sebagai Laporan
Sesuai dengan namanya, foto jurnalistik adalah foto yang "melaporkan" sesuatu. Jurnal adalah laporan, dan jusrnalistik adalah "sesuatu yang bersifat laporan". Maka, foto apa pun yang melaporkan sesuatu bisa disebut sebagai foto jurnalistik.
Sebuah foto piknik buatan tahun 1970-an yang biasa-biasa saja, dibuat orang sangat biasa, mendadak pada tahun 1999 menjadi foto jurnalistik yang sangat menggigit. Masalahnya, dalam foto itu terlihat Gus Dur sedang memangku anak-anaknya.
Atau juga sebuah foto orang menambang emas yang biasa-biasa saja, sempat menjadi foto mahal karena penambangan emas itu di Busang, tempat yang sempat menghebohkan dunia internasional itu.
Seorang rekan fotografer juga mendadak dicari-cari orang karena dialah satu-satunya orang yang punya foto Zarima saat masih menjadi fotomodel pemula. Foto piknik di cerita di atas baru menjadi foto jurnalistik setelah dimuat di sebuah media cetak. Kalau dia tetap tersimpan di laci, ia tetaplah sebuah foto piknik biasa.

Kategori Foto Jurnalistik
Dalam sebuah media cetak, foto terbagi dalam beberapa kategori yang semuanya memang foto jurnalistik.: Pertama, foto hard news. Foto jenis ini misalnya foto bentrokan mahasiswa dengan aparat di depan DPR, atau foto Gunung Merapi meletus, atau foto pengungsi Sampit mendarat di Surabaya. Foto jenis ini sebaiknya dimuat di media cetak sesegera mungkin. Seperti juga berita, foto jenis ini punya masa pakai terbatas, bisa basi. Biasanya, foto jenis inilah yang disebut Foto Jurnalistik pada lomba-lomba foto. Foto hard news ini punya otoritas sendiri, punya kekuatan sama dengan tulisan hard news yang menyertainya.
Kategori kedua adalah foto headshot dan portrait, yaitu foto orang untuk menguatkan berita atau untuk memberitahu pembaca wajah seseorang. Dengan tulisan, kita tidak mungkin menggambarkan wajah orang walau dengan sejuta kata pun. Namun dengan sebuah foto, wajah orang mudah diberitakan.
Kategori ketiga adalah foto features. Jenis ini adalah foto yang tidak basi oleh waktu. Pemuatan foto features ini bisa kapan-kapan tergantung sang media. Foto tipe ini misalnya foto-foto human interest tentang perempuan tua yang membawa kayu bakar, tukang ojek yang sedang memanti penumpang dan lain-lain human interest.
Kategori keempat adalah foto ilustrasi. Foto jenis ini adalah foto yang paling rendah kelasnya dalam foto jurnalistik. Kalau perlu, tidak jadi dimuat juga tidak apa-apa. Jenis ini misalnya foto orang main basket untuk melengkapi tulisan tentang demam basket. Kalau saja sang foto tidak jadi dimuat, sang tulisan tetap bisa berdiri sendiri. (*)