Tuesday, January 22, 2013

Bahan UAS Pertekkom



Menyambut Era Kemunculan Solo Jurnalis Indonesia

Dari metamorfosis Citizen Jurnalis pelan-pelan namun pasti akan menjadi bibit-bibit Solo Jurnalis Indonesia. Solo Jurnalis (SoJo) Indonesia harus memenuhi pengetahuan yang lebih dalam tentang kode etik jurnalisme, terutama yang telah dikeluarkan oleh  Dewan Pers, yakni :



Isi :



PERATURAN DEWAN PERS

Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008

Tentang

PENGESAHAN SURAT KEPUTUSAN DEWAN PERS

NOMOR 03/SK-DP/III/2006 TENTANG KODE ETIK JURNALISTIK SEBAGAI PERATURAN DEWAN PERS



Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk

menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum

mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain

yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

(sumber : dewan pers.org)


Kemudian selain 11 Kode Etik Dewan Pers, Jurnalis juga harap dibekali dengan pengetahuan tentang UU Pers no 40 tahun 1999 yang kemungkinan akan segera direvisi dan diamandemen ulang, karena alasan yang pertama sekarang sudah era tahun 2000-an yang kental diwarnai dengan media sosial dan gadget-gadet yang mendukung. Selanjutnya agar selamat, Solo Jurnalis juga harus mengetahui  UU ITE.  UU ITE yang telah menjerumuskan Prita Mulyasari ini bisa dibaca sendiri di berbagai sumber.

Para Solo Jurnalis Indonesia nantinya adalah mereka yang tadinya menyuarakan beritanya kepada situs-situs berita yang bernama besar yang mewadahi aktivitas citzen jurnalis yang tanpa ada imbalan bagi para CJ. Tadinya, motivasi utama para CJ yang mengirimkan beritanya ke situs-situs bernama besar adalah dengan harapan awal : nama CJ ybs (yang bersangkutan) juga ikut besar dan terkenal. Minimal ingin terkenal lewat media terkenal (katut terkenal gitu), namun lambat laun setelah memposting ratusan artikel dan foto karya sang CJ, kok ya tetap saja yang besar adalah nama media yang telah besar itu.

Jadi jika para CJ bisa punya media sendiri meskipun itu blog atau pun dotcom independen, maka siapa yang bisa memberangusnya ? Apakah bikin media online di Indonesia harus punya SIUPP dulu kayak bikinan Orde Baru, kalau pun ditetapkan demikian oleh desakan kapitalisme media besar, maka sama saja dengan monopoli informasi, monopoli media.

Monopoli informasi atau kartel informasi telah lama diramalkan oleh pakar media Dennis McQuail dalam banyak bukunya, bisa dibaca sendiri terutama “Mass Media Theory, (2005)”. Isinya bagus yakni pakar-pakar media setingkat Dennis McQuail telah meramalkan bahwa kelak media-media independen atau media gurem bakalan rontok karena monopoli dari kartel-kartel media besar, karena sifat kapitalis yang memang begitu (serakah sebagai sifat alami manusia dan cenderung monopoli). Namun untungnya jika media online milik individu nantinya bakalan diregulasi habis-habisan hingga tak tersisa dotcom independen yang bukan milik media mogul (kaisar media), maka untungnya masih  ada blog.

Jika blog juga nantinya rontok oleh keserakahan kartel media informasi, yang mendesakkan regulasi kepemilikan media kepada penguasa,  maka untungnya masih ada media sosial.  Intinya nantinya para solo jurnalis ibarat lapak kecil yang diharapkan masih bisa berdagang meksipun di sampingnya ada hyper market (media raksasa), supermarket (media holding milik raksasa juga) dan mini market (media lebih kecil tapi masih dalam grup raksasa juga). Karena ibarat pasar, saya pernah melihat pedagang kebetulan orang yang ulet, dia dapat berdagang buah jambu meskipun di seberang jalannya ada supermarket yang juga jual jambu.  Katanya bijak : "Lho Tuhan kan kasih rejeki sesuai kehendak-Nya".

Mungkin juga sedikit utopia bagi kalangan pesimistis yang menyangsikan dapatkah Solo Jurnalis timbul di Indonesia, karena kartel media besar di Indonesia demikian rambahannya ke semua lini kekuasaan ekonomi, sosial dan politik.

Utopia atau tidak utopia, SoJo telah berkembang di dunia negara maju yang kapitalis medianya lebih dashyat dari Indonesia.

Maka nantinya para CJ Indonesia yang telah  paham jurnalistik terutama 6M : Mencari, Memperoleh, Mengelola, Menyimpan, Menyajikan dan menyampaikan informasi yang akurat, maka akan mendorong era muncunya Solo Jurnalis Indonesia.

Solo Jurnalis akan muncul secara alamiah, sebagai konsekuensi berkembangnya kebebasan informasi. Solo Jurnalis yang muncul dalam fase pertama di Indonesia adalah para Solo Jurnalis yang mencari pemasukan dari liputan-liputan ringan namun diminati oleh pembaca seperti promo kuliner, promo wisata dan promo traveling, dengan kepastian sang SoJo nya punya hubungan baik  dengan agency-agency tempat usaha itu.

Pada fase berikutnya tidak menutup kemungkinan para Solo Jurnalis Indonesia akan menerjunkan diri mereka ke liputan-liputan yang bersifat tersendiri (special interest) yang dikuasai benar medan dan situasinya oleh para Solo Jurnalis yang kelak akan bertumbuhan setelah era pewarta warga indonesia (Citizen Jurnalis Indonesia) mencapai puncaknya.

Meskipun ada Bos Media besar yang dengan pongahnya berkata : "Mana sih ada Solo Jurnalis di Indonesia yang dapet duit, sebutkan," jawabnya : "Ada namun jika kami sebutkan maka pasti akan engkau rampas pula  'lapak'nya,".

Maka tengok saja para SoJo yang telah memiliki nama di Amerika Serikat, mereka benar-benar menguasai bidangnya, dan pemasukan materi mereka pun banyak didapat dari iklan. Karena satu hal : para pengiklan itu tahu bahwa para solo jurnalis yang telah profesional tidak akan berbuat satu hal : dusta. SoJo di Amerika terkenal karena mereka tak pernah dusta.

Kejujuran, dan liputan apa adanya tanpa ada presensi dan pretensi bias politik menjadi daya tarik liputan Solo Jurnalis di Amerika.

Karena di mana saja para pemilik media adalah: menjadi mesin politik, atau aktor politik, serta berpolitik baik politik nasional maupun klik politik internasional yang lebih panjang dan luas visi dan misnya, juga didekati kekuatan politik di negara mana saja. Pemilik media (media mogul) dan politik ibarat sisi koin mata uang yang tak bisa dipisahkan. Mungkin saja seorang pemilik media tak berpolitik secara nasional, tapi sebenarnya visinya adalah pan-internasional, dengan visi dan misi yang jauh melebihi sekadar batas negara semata. (*)

(MP)


Kriteria Pewarta Warga

Selasa, 17 Januari 2012 20:33 | Oleh : Mung Pujanarko |  |  | 
 Pewarta warga (citizen journalist) adalah orang yang beraktivitas melakukan kegiatan jurnalisme warga (citizen journalism). Dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, pewarta warga tetap sama menggunakan kaidah-kaidah ilmu jurnalstik, yakni : mencari, mengumpulkan, mengolah dan menyajikan informasi berupa warta baik itu news, soft news, atau artikel (features), serta foto atau bentuk liputan audio visual (auvi).
Saudara pembaca, kini telah banyak bermunculan radio komunitas meski saat ini hanya diperbolehkan beroperasi pada tiga kanal. Menurut ketentuan Kepmenhub no 15 tahun 2002 dan no 15A tahun 2003 yakni di frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan jangkauan yang terbatas yaitu power maskimal 50 watt dan jangkauan layanan maksimal 2,5 km.
Media cetak komunitas juga sempat berkembang dan kini cencederung mengempis. Jaman awal reformasi di berbagai daerah muncul media-media lokal, karena ibarat sumbat SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) telah dibuka, karena itu semua warga negara asalkan memiliki badan usaha boleh berusaha di bidang media massa (pers). Ini bagus, dan jangan sampai kita kembali pada era Harmoko lagi yang gelap dan suram bagi dunia pers karena banyak media dibredel, dan ditutup paksa orde baru.
Dalam kemunculan Citizen Jurnalisme ini, entah karena masih baru atau berkembang secara pesat, kini banyak pihak terutama yang merasa berkuasa atas peraturan kemudian mempertanyakan legitimasi citizen jurnalisme, pihak-pihak ini khawatir akan munculnya kekuatan baru (new emerging forces) berupa citizen journalism. Padahal tidak ada yang aneh tentang citizen journalism, karena sejatinya, Citizen Journalism (jurnalisme warga) adalah Hak Asasi Manusia paling hakiki yakni menyuarakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Di negara yang masih berkembang ini kebiasaan menulis dan menata pikiran dalam tulisan masih belum sampai pada titik yang menggembirakan. Setiap tahun hanya 7.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia. Jumlah itu sangat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat yang mampu menerbitkan 75.000 judul buku setiap tahun.
Jumlah orang yang suka menulis di beragam media termasuk internet di Indonesia juga diperkirakan hanya 3,4 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 yang diperkirakan mencapai sekitar 241 juta jiwa. Jumlah ini berdasar asumsi bahwa pertambahan penduduk sebesar 1,49% per tahun. Menurut data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang.

Seorang penulis buku pernah berkata bahwa dia malah menduga bahwa jumlah pembaca buku aktif di Indonesia jika dihitung dari rekor penjualan buku terbanyak maka hanya didapat sekitar angka 200.000, (dua ratus ribu)  jiwa dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia saja. Bandingkan dengan jumlah penjualan album musik terbanyak sekitar 400 ribu keping yang memperoleh plakat platinum, juga bandingkan dengan penjualan unit RBT (ring back tone) terjual sebanyak 6,7 juta ring back tone untuk satu judul saja, pada satu provider saja.

Inilah budaya Indonesia yang memang harus kita akui bahwa kita ini masih hidup dalam negara dunia ketiga, negara berkembang. Namun dengan adanya fenomena citizen journalism ini, pelan-pelan kita pasti menuju ke arah yang lebih baik dalam bidang tulis-menulis dan dalam bidang kebebasan informasi. Apalagi jika berbicara soal media on line, hasil riset, yang dirilis oleh oleh MarkPlus Insight, jumlah pengguna Internet di Indonesia pada tahun 2011 lalu sudah mencapai 55 juta orang, meningkat dari tahun sebelumnya 2010 di angka 42 juta.
Hanya saja harus diakui bahwa berkembangnya fenomena citizen jurnalism adalah berbanding lurus dengan kemajuan pendidikan. Ini sebuah kepastian. Kegemaran siswa membaca dan menulis harus ditingkatkan meski upaya ini sulit karena mayoritas orang Indonesia dikenal kurang suka membaca apalagi menulis, lebih enak menonton.
Kemudian pelatihan menulis atau jurnalistik juga tetap harus digiatkan oleh siapa saja yang cinta dunia jurnalistik. Di sisi lain ada kecenderungan mengkhawatirkan bahwa siswa pelajar lebih suka menonton musik dan bergembaria ria hura-hura dari pada pada mempelajari sebuah ilmu ketrampilan seperti jurnalistik. Saya pernah mengadakan kursus jurnalistik untuk tingkat SMU dan mahasiswa, dan peminatnya tidak sebanyak ketika saya sebagai panitia bersama mahasiswa membuat event live music di kampus.
Untungnya media sosial bisa merupakan pintu untuk berkembangnya citizen jurnalism.
Lalu apa aja kriteria agar dapat menjadi pewarta warga ? kriterianya hanya satu, yakni : Mampu dan mau untuk melakukannya. Sayangnya masih ada orang yang mondar-mandir pakai kartu citizen journalist, tapi dia tak sanggup untuk menyusun informasi baik tulisan, audio maupun (apalagi) visual. Hanya suka mendapat predikat citizen journalist, mendapat kartu anggota yang bisa dibanggakan, tapi tak sanggup seculipun untuk melakukan kegiatan penulisan,  tak sanggup memotret, tak sanggup pula merekam video, apalagi melaporkan secara auditif. Aduh...mak, muncul keinginan agar membantu diberikannya pelatihan sederhana agar yang belum bisa, menjadi bisa melakukan ketrampilan, paling tidak kemampuan dasar menulis, untuk membuat berita sederhana/format berita pendek (spot news), memotret, merekam video dan berbicara layaknya seorang reporter radio. Karena itulah ketrampilan dasar jurnalistik bekal seorang jurnalis, dan bekal dasar seorang pewarta warga. Paling tidak pengertian skill dasarnya dapat.
Maka itu memang  saran saya PPWI nantinya harus selektif benar, pada pemberian predikat pewarta warga serta tanda identitas pewarta warga. Karena pewarta warga haruslah orang yang minimal memilki ketrampilan jurnalistik yang paling dasar seperti menulis pelaporan berita singkat/format berita pendek (spot news), sebelum bisa membuat format berita panjang seperti straight news, soft news, hard news, apalagi investigative news, kemudian berbagai jenis artikel dan feature. Yang paling simple dulu saja.
Barulah kemudian kalau mau, setidaknya mampu memotret (ketrampilan dasar fotografi, berupa pengertian aperture, shutter speed, lensa) dan membuat caption (teks foto), ini dulu yang dasar.  Sedangkan mengambil gambar melalui video dan merekam suara untuk disalurkan ke media radio adalah kemampuan yang lebih lanjut meskipun juga mendasar sifatnya. Pelan-pelanlah.
Tentu kita  malu sendiri bila kita yang pemegang tanda identitas pewarta warga, tapi menulis tak mampu, memotret peristiwa tak mampu, berbicara di saluran radio baik radio komunitas, radio amatir, dan segala macam saluran audio termasuk radio streaming internet, juga tak mampu pula... aduh, kalau begini logikanya adakah kita layak  mengaku sebagai pewarta warga ?
Untuk me-mitigasi kekurangan ini ada baiknya pengurus PPWI berinisiatif memberikan pelatihan singkat, dan jika  calon pewarta warga tadi sudah lulus ketrampilan dasar (basic journalistic) maka PPWI berhak memberikan semacam sertifikat tanda ketrampilan dasar jurnalistik, seperti halnya  jika seorang telah lulus satu level kursus Bahasa Inggris, juga berhak memperoleh sertifikat tanda ketrampilan.
Jadi fungsi sertifikat adalah merupakan tanda bukti yang sah bahwa yang bersangkutan telah lulus pelatihan jurnalistik dasar (basis jurnalistik), dan berhak untuk mendapatkan identitas sebagai pewarta warga agar sedikitnya memiliki pemahaman tentang ilmu jurnalistik yang benar. Karena ilmu jurnalistik ini adalah bukan ilmu sembarangan yang bisa dipraktekan orang secara sembarangan tanpa memperoleh pelatihan. Logikanya, semua profesi apa saja, termasuk supir juga memperoleh pelatihan, belajar, dan ada kursus mengemudinya segala. Ini sebuah hal yang wajar, bahwa jika ingin bisa maka berlatih, jika tidak dapat berlatih sendiri maka minta diajari oleh orang lain, bila ingin diajari oleh lembaga dan memperoleh sertifikat tanda lulus belajar maka ikuti programnya. Hidup selalu penuh pilihan.
Dan pelatihan serta sertifikat ini pun tidak ada paksaan, karena sifatnya hanya membantu bagi calon pewarta yang memang benar buta ilmu jurnalistik.
Lain halnya jika ada pewarta warga yang sudah memiliki ketrampilan skill jurnalistik dasar, apalagi mahir, maka tinggal menunjukkan karya apa saja yang pernah dibuatnya, di media sosial-kah, foto di media online-kah, suka menulis di blog -kah, atau apa saja berupa karya warta yang pernah dibuatnya, maka sudah bisa mengaku dan diakui oleh PPWI sebagai pewarta  warga. Atau kalau sudah bisa menulis, tapi belum pernah berkarya, juga tak masalah, tidak ribet, dipersilahkan menulis di media situs PPWI, inipun kapan saja boleh. Itu saja, tidak ada yang repot dan merepotkan. Juga ini bukan guyonan atau bercandaan sifatnya, karena ketrampilan jurnalistik dasar adalah sesuatu yang serius, sama seriusnya dengan belajar ketrampilan menembak bagi seorang tentara.
Saya ingat ketika baru pertama kali menjadi wartawan, kami calon wartawan pada tahun 1990-an saat itu, mendapat pelatihan  jurnalistik dari perusaahaan pers tempat kami bekerja, pelatihan dasar berlangsung selama 6 bulan. Pelatihan dasar ini berlaku bagi semua calon wartawan yang berlatar belakang pendidikan apa saja, yang berlatar belakang pendidikan jurnalistik pun kembali memperoleh pendadaran jurnalistik yang diberikan secara disiplin ilmu jurnalstik.  Barulah kemudian yang telah  lulus dan mengerti dengan baik semua kaidah dan etika serta tata cara jurnalistik sebagai disiplin ilmu dasar, diterjunkan ke lapangan guna meliput berita. (*)
(MP)

No comments:

Post a Comment